Si Patai, Bandit Revolusioner Dari Padang
Nama Si Patai senantiasa hidup di kalangan orang-orang dunia hitam kota Padang. Tapi, namanya kesohor tak sekadar karena bergelut di dunia hitam, namun juga disebabkan pemberontakan pada Belanda. Si Patai, juga ketua gangster bernama Sarekat Djin yang sangat ditakuti.
Si Patai namanya. Ilmunya banyak, pengikutnya pun banyak. Menurut cerita yang tersebar, pada masa itu Si Patai sering keluar masuk kota. Tak seorang pun berani melapor kepada pemerintah bila melihatnya. Karena setiap ada yang melapor, selalu saja rumah pelapor kena rampok malam harinya. Lambat laun, setiap terjadi peristiwa perampokan atau pembunuhan, dikatakan Si Patai jadi otaknya. Maka Tuanku Laras selalu melapor kepada residen setiap terjadi peristiwa perampokan itu. Akhirnya Si Patai dinyatakan musuh nomor satu yang paling dicari, hidup atau mati.
Kisah sebenarnya yang terjadi, bahwa Si Patai pernah ditangkap karena lawannya berkelahi terbunuh. Yang terbunuh itu kebetulan anak Tuanku Laras yang kalap karena judinya kalah. Selama di penjara Si Patai sering disiksa anak buah Tuanku Laras untuk melampiaskan dendamnya. Sebaliknya Si Patai banyak pula berguru berbagai ilmu pada sesama tahanan dari Bugis dan Banten. Ketika ilmunya dirasa sudah cukup, Si Patai meloloskan diri dari penjara. Dia bersembunyi di Pauh. Bergabung dengan mereka yang memusuhi pemerintah. Lambat laun Si Patai yang menjadi pemimpin. Setiap usaha menangkapnya selalu gagal.
Pada waktu sebelum kedatangan Si Patai, di Pauh sudah ada seorang banci bernama Patai. Nama aslinya Ujang. Dengan nama julukannya dia dipanggil Ujang Patai. Pengecutnya bukan kepalang. Bila ada patroli tentera, dia yang lebih dulu berhamburan lari. Terbirit-birit atau berpetai-petai tahinya diwaktu lari. Menurut logat desa itu, tahinya bapatai-patai. Sejak itulah dia memperoleh nama julukan Ujang Patai.
Nah, karena nama dengan julukan yang sama dari kedua orang itu, bila ada patroli mencari Si Patai, semua orang menunjuk si Ujang Patai orangnya. Maka selalu dia yang ditangkap dan dibawa ke penjara. Tapi tak lama kemudian dia dilepaskan lagi, karena bukan dia yang dicari.
“Kamu polisi goblok. Kamu disuruh tangkap Si Patai, tapi orang banci yang kamu tangkap. Betul-betul goblok.” kata residen kepada komandan polisi yang salah tangkap.
Tuanku Laras yang dendamnya belum terbalas, menyuruh para Kepala Kampung membuat laporan setiap pencurian atau perampokan dilakukan oleh anak buah Si Patai. Seorang Kepala Wijk (sama dengan Lurah di kota sekarang) yang jadi iparnya disuruhnya pula membuat laporan yang sama. “Ada tidak ada perampokan, pokoknya buat laporan.” katanya.
Residen naik pitam. Sehingga sudah dua orang komandan polisi diganti, namun perampokan tak kunjung terhenti dan Si Patai tetap tak tertangkap. Maka tibalah suatu waktu, pemerintah mengeluarkan peraturan wajib pajak kepada rakyat. Kepala Kampung dan Kepala Wijk ditugaskan memungutnya. Rakyat tentu saja tidak suka dan kata mereka: “Kita tinggal di kampung halaman kita sendiri, mengapa mesti membayar pajak kepada Belanda yang bukan pemilik negeri ini?” kata mereka. Kata Tuanku Laras mengancam Kepala Kampung, jika tidak mampu memungut pajak, akan dipecat. “Sulitlah itu. Tuanku. Semua rakyat sedang marah.” kata mereka yang terancam itu. “Buat laporan, pajak yang telah terkumpul dirampok anak buah Si Patai.” kata Tuanku Laras pula.
Sejarawan-cum-wartawan Rusli Amran (1922-1996) dalam buku Padang Riwayatmu Dulu bercerita, Si Patai bandit legendaris yang namanya menempati klasemen papan atas dalam daftar polisi Padang pada awal abad 20.
Dalam rombongan Si Patai, tersebut pula sederet nama-nama bandit Padang, antara lain Si Sampan, Palalok dan Buyuang Tupang.
Saking legendarisnya, sastrawan A.A Navis pernah mengangkat lakon Si Patai dalam cerpen Kabut Negeri Si Dali.
Belanda mengkategorikan Si Patai bukan sekadar penjahat biasa, tapi termasuk bandit yang merongrong pemerintahan.
Pada 1908, ketika pemerintah Hindia Belanda memberlakukan kebijakan belasting (pajak) di ranah Minang, Dan mulai berlaku sejak 1 Maret tahun itu.
Ketentuannya meliputi hoofd belasting (pajak kepala), inkomsten belasting (pajak pemasukan suatu barang/cukai),hedendisten (pajak rodi), landrente (pajak tanah), wins belasting(pajak kemenangan/keuntungan), meubels belasting (pajak rumah tangga), slach belasting (pajak penyembelihan), tabak belasting (pajak tembakau), adat huizen belasting (pajak rumah adat).
Kebijakan baru ini dilawan oleh urang awak. Nagari Air Bangih, Painan, Padang Panjang mengeluarkan resolusi penentangan. Luhak Agam tidak memenuhi undangan kepala laras saat sosialisasi. Ada juga yang berunjuk rasa ke kantor asisten residen di Bukittinggi. Dalam aksinya demonstran merobek blanko pembayaran belasting.
Karena Belanda memaksakan kehendaknya, 15 Juni meletus perang Kamang. Esok harinya, Pasukan 17 pimpinan Mande Siti menyerbu tangsi Belanda di Manggopoh. Di Lubuk Alung, pasukan berjubah putih bertempur habis-habisan dengan sandi perang “Allahu akbar!!!”.
Di sekitar Padang, pemberontakan dipimpin oleh Si Patai, dari kalangan dunia hitam. Mula-mula Si Patai memimpin gerombolannya membuat onar di Pauh. Beberapa pegawai pemerintah dibunuh. Perlawanan Pauh mirip seperti perang gerilya. Jika tentera berpatroli, rakyat seperti tidak acuh saja. Yang di ladang terus bekerja. Bila berpapasan di jalan, mereka meletakkan ujung jarinya seperti prajurit menghormat pada perwira. Kalau jumlah yang berpatroli sedikit, ketika hendak kembali ke Padang, mereka dihadang di pesawangan. Tapi yang paling sering ialah mereka merampoki rumah orang-orang kota yang bekerja sama dengan pemerintah di tengah malam. Si Patai aktornya.
Melihat itu, akhirnya Belanda meminta bantuan ke Batavia untuk mengirimkan marsose, pasukan elite belanda untuk menangkap Si Patai. “Perang belasting hanyalah momentum yang dimanfaatkannya (Si Patai–red) saja dalam upaya menggulingkan pemerintahan,” tulis Rusli Amran, pendiri dan pemimpin redaksiHarian Berita Indonesia, koran pertama yang terbit di zaman Indonesia merdeka.
Untuk meringkusnya, pemerintah kolonial mengandalkan dua orang Mantri Polisi Padang yang baru diangkat pada 1905, Bariun Sutan Batang Taris dan Abdullah Umar Marah Saleh Siregar. Suatu hari, Batang Taris mendapat laporan Si Patai dan Sampan sedang berada di lapau Ma Anjang di Air Pacah. Pukul 00.00 WIB sebanyak 24 tentara bersenjata lengkap bergerak ke sana. Rombongan ditambah lagi dengan sejumlah pegawai dari Alai. Semua berjumlah tidak kurang 35 orang.
Pukul empat pagi lapau Ma Anjang dikepung rapat. Batang Taris berteriak menyeru tantangan. Bukannya gentar, Si Patai melompat keluar seraya menyerang Batang Taris dengan kelewangnya. Seorang serdadu Belanda yang coba-coba ikut campur, kena sabetan kelewang Patai.
Sejurus kemudian…door! Si Patai tersungkur. Mukanya kena peluru. Saat tergeletak di tanah, seorang tentara menembaknya dari jarak dekat. Sebutir peluru menembus dadanya. Si Patai tak berkutik. Dalam keadaan terluka parah, ia dipertontonkan kepada orang-orang. Beruntung di dalam penjara kesehatannya berlangsung pulih. “Tiga tahun lamanya dia mendekam di hotel prodeo,” tulis Rusli Amran.
Pemberontakan Komunis
Suatu hari saat bulan puasa 1926, orang-orang dari kalangan “dunia hitam” kota Padang menggelar rapat rahasia. Keputusan rapat itu; mendirikan organisasi bawah tanah bernama Sarekat Djin. Si Patai dipilih jadi pemimpin. Mula-mula jumlah anggotanya 40 orang. Kemudian terus meluas.Semasa itu, di samping Sarekat Djin, berdiri pula organisasi bawah tanah, Sarekat Hantu dan Sarekat Itam.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang, Mestika Zed dalam bukuPemberontakan Komunis Silungkang 1927menulis, pembentukan organisasi-organisasi bawah tanah tersebut adalah realisasi dari gagasan pembentukan DO di Sumatera Barat berdasarkan instruksi dari CC PKI pada akhir Maret 1926.
Malam tahun baru 1927 ranah Minang bergolak. Partai Komunis Indonesia, partai politik pertama yang menggunakan nama Indonesia melakukan pemberontakan.
Si Patai ambil bagian. “Saat pemberontakan PKI meletus awal 1927, Si Patai dan Sarekat Djin-nya banyak membunuh pejabat pemerintah Hindia Belanda,” kata Mestika Zed kepada JPNN.com melalui sambungan telepon.
Akhirnya keluar lagi perintah dari Betawi, supaya marsose dikerahkan menyerbu pengacau di desa Pauh. Perintah itu diteruskan residen pada komandan tentera dengan tambahan: “Kalau Si Patai tidak berhasil kamu tangkap, itu tandanya kamu komandan tidak becus. Aku lapor ke Betawi. Tahu?” ucapnya.
Komandan tentara itu merasa jabatannya terancam. Suatu malam, dibawah pimpinannya sendiri, sepasukan marsose memasuki Pauh menjelang dini hari. Beberapa laki-laki yang dapat disergap langsung dibunuh. Bagi komandan itu tidak penting artinya jiwa rakyat. Yang terpenting hanyalah jabatannya sebagai komandan. Ketika pagi datang mayat-mayat itu dikumpulkan di halaman mesjid. Seluruh penduduk disuruh mengenali mayat tersebut. Beberapa orang menunjukkan salah satu mayat itu Ujang Patai namanya. Bukan main leganya hati komandan itu. Lalu dia memerintahkan kepala Ujang Patai dipenggal untuk dibawa ke Padang sebagai bukti keberhasilan operasinya. “Arak kepala itu keliling kota. Biar rakyat kapok melawan pemerintah.” kata residen kepada komandan tentera itu.
Maka kepala yang terpenggal itu ditusuk pada ujung tombak. Pasukan marsose yang tubuhnya dilumur cat hitam mengarak penggalan kepala itu berkeliling kota sambil menari dan berteriak-teriak gembira, diiringi genderang yang dipalu terus menerus. Semua rakyat keluar dari rumah masing-masing melihat arak-arakan itu. Mana yang merasa ngeri kembali lagi tergesa-gesa masuk ke rumahnya. Ada perempuan yang jatuh pingsan demi melihatnya. Kisah hebat Si Patai tamat.
“Hari itu kota Padang menjadi gempar,” kenang Hasjim Ning yang menyaksikan arak-arakan itu, sebagaimana dicuplik dari bukuPasang Surut Pengusaha Pejuang—Otobiografi Hasjim Ning karya A.A Navis.
“Si Patai adalah kepala pemberontak melawan Belanda. Ia telah banyak membunuh tentara dengan parangnya. Tentara akan gentar dan lari lintang pukang bila berhadapan dengannya,” kata saudagar terkemuka dari zaman Sukarno hingga Suharto itu. Waktu jasad Si Patai diarak, Hasjim kanak-kanak. Tapi dia masih ingat.
Namun, ada cerita lain, kalau Si Patai bukanlah orang yang dipenggal. Sebab, Tuanku Laras yang kenal dengan Si Patai dan tahu bahwa kepala itu bukan kepala Si Patai, melapor kepada residen, bahwa komandan tentera itu telah salah penggal. “Biar saja. Pokoknya perintah Betawi sudah dilaksanakan. Habis perkara. Orang di Betawi toh tidak akan tahu mana Si Patai yang sebenarnya.” kata Residen.
“Tapi, Tuan Besar, apabila Paduka Tuan Besar di Betawi tahu Si Patai yang sesunggunya belum mati, celaka kita.” kata Tuanku Laras.
“Bukan kita. Tapi kamu yang celaka.” kata Residen sambil menggebrak meja dengan kedua telapak tangannya.
Oleh laporan yang dibuat residen ke Betawi, resmilah Si Patai dinyatakan mati. Sedangkan tak lama kemudian Tuanku Laras, yang tahu persoalan yang sebenarnya, dipecat dengan tuduhan penggelapan uang pajak. Tak lama kemudian Tuanku Laras jatuh sakit. Kata orang sakit muno. Sakit orang berkuasa yang kehilangan jabatannya secara tiba-tiba. Sakit kehilangan harga diri.
Untuk menghindari desas-desus salah bunuh itu, residen memerintahkan seluruh pegawainya, tidak lagi membicarakan tokoh yang bernama Si Patai. Sebuah koran secara bersambung mengisahkan suksesnya operasi tentera menumpas gerombolan Si Patai. Sehingga lambat laun rakyat di kota pun percaya, bahwa penggalan kepala yang diarak berkeliling itu, betul-betul kepala Si Patai. Sebaliknya rakyat yang membenci Belanda menganggap bahwa kepala yang terpenggal itu, kepala seorang pahlawan bangsa.
Kisah lainnya, yang disadur dari berbagai Sumber, menyebutkan kalau melihat begitu banyak korban, anak-anak jadi yatim dan perempuan menjadi janda, para penghulu Pauh minta kepada Si Patai agar meninggalkan kampung untuk sementara. Sampai situasi aman. Karena menurut para penghulu itu, melawan pemerintah yang bersenjata kuat, hanyalah akan menambah kesengsaraan rakyat. Konon Si Patai menyingkir ke Teluk Kuantan. Dari sana dia menyeberang ke Semenanjung, yang kini bernama Malaysia.
Namun dendam rakyat yang keluarganya terbunuh, isteri-isteri yang kehilangan suami, anak-anak yang kehilangan ayah, tidak hilang sama sekali oleh kekejaman operasi tentera yang mereka alami itu. Dua puluh tahun kemudian, generasi yang lain melakukan pemberontakan lagi. Berbaringan dengan pemberontakan komunis tahun 1926. Namun mereka pun masih dikalahkan. Dua puluh tahun pula setelah itu kembali rakyat melawan. Perlawanan yang terakhir ini dalam rangkaian perang kemerdekaan bangsa ni. ***
(sumber : maharadjo.wordpress.com)
Post a Comment